Scroll untuk baca berita
AcehNEWS-BIDIK NAGANRAYA

Diduga DPRK, Bupati, dan Dinas Terkait Hanya Formalitas Membela Masyarakat: Penyerobotan oleh Perusahaan Tak Kunjung Diselesaikan

221
×

Diduga DPRK, Bupati, dan Dinas Terkait Hanya Formalitas Membela Masyarakat: Penyerobotan oleh Perusahaan Tak Kunjung Diselesaikan

Sebarkan artikel ini

NEWS-BIDIK, Nagan Raya, Aceh – Rasa keadilan di tengah masyarakat Kabupaten Nagan Raya terus tergerus. Dalam berbagai persoalan agraria, masyarakat selalu menjadi pihak yang dipersalahkan, sementara pengusaha pemegang HGU seolah kebal hukum. Ironisnya, pada peringatan Kemerdekaan RI ke-80 tahun ini, sebagian rakyat Nagan Raya justru merasa masih dijajah – bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh sistem yang lemah dan penguasa yang tak berpihak.

Amanah UUD 1945 dan nilai-nilai luhur Pancasila, yang seharusnya menjadi fondasi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, kini terkesan hanya menjadi jargon dalam pidato resmi. Di lapangan, kemerdekaan sejati seolah hanya dinikmati oleh para pejabat dan elite, sementara rakyat kecil menjadi korban praktik korporasi dan kelumpuhan penegakan hukum.Senen, (11/8/2025).

Baca Juga 

Agraria Indonesia Dalam Kekacauan Struktural, Aceh Punya Jalan Keluar Tapi Tak Melangkah

Janji politik Bupati Nagan Raya untuk “mengembalikan marwah daerah” pun kini dipertanyakan. Ketika konflik agraria memuncak di Kecamatan Tadu Raya dan Beutong, akibat dugaan penyerobotan lahan ulayat masyarakat oleh PT Kharisma Iskandar Muda (PT KIM), tak satu pun langkah nyata yang tampak dari pihak eksekutif maupun legislatif.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Aula DPRK Nagan Raya hanya menjadi ruang simbolik yang jauh dari penyelesaian substansi. Berkali-kali hasil rapat tak pernah ditindaklanjuti di lapangan. Tak ada keberanian mengeksekusi keputusan politik untuk berpihak kepada rakyat. Lembaga Dewan pun dinilai kehilangan “taji” dan daya tawar (bargaining power) dalam menghadapi perusahaan besar yang diduga memiliki beking kuat.

Baca Juga

Diduga Proyek Irigasi Jeuram Tak Transparan, Puluhan Petani Kuala Nagan Raya Tuntut Kepastian

Sikap diam aparat penegak hukum memperkuat dugaan adanya kompromi kekuasaan yang membiarkan konflik terus berlangsung. Masyarakat yang menuntut keadilan dibiarkan menghadapi tekanan, intimidasi, dan bahkan kriminalisasi. Sementara korporasi dengan mudah memperluas wilayah tanpa sanksi dan kontrol.

Baca Juga

Diduga Kepala Desa Blang Bintang Tidak Transparan Pengunaan Dana Desa . Pekerjaan Fiktif, Asal Bapak Senang

Situasi ini menandai kemunduran demokrasi lokal dan mempertegas adanya krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Masyarakat menagih tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan simpatik. Jika pemerintah dan wakil rakyat terus gagal menjawab jeritan rakyat, maka ketimpangan dan kemarahan sosial hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Tinggalkan Balasan

Aceh

Petani menjadi tersangka, sementara perusahaan perkebunan diduga kebal hukum. Manipulasi HGU yang melibatkan oknum BPN/ATR harus diusut tuntas demi keadilan masyarakat Padang Panyang.”

“Sudah puluhan tahun perusahaan berkuasa, tetapi hak rakyat tak pernah benar-benar merdeka. Presiden Prabowo diharapkan turun tangan menegakkan keadilan agraria di Nagan Raya.”

“Program plasma 20 persen hanya tinggal formalitas. Sampai hari ini tidak satu pun petani menikmati hasilnya.”

“Kami meminta APH tidak menutup mata. Mafia tanah harus dihentikan, bukan rakyat yang dijadikan tumb

Aceh

Diduga proyek pembangunan TKN 15 Samatiga Aceh Barat tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Minimnya pengawasan dari pihak terkait serta sulitnya akses informasi ke publik semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam proyek bernilai miliaran rupiah ini. Aparat Penegak Hukum (APH) diminta turun tangan mengusut tuntas agar pembangunan fasilitas pendidikan tidak dikorbankan demi kepentingan tertentu.”

Aceh

Ketua Wilter LSM GMBI Aceh, Zulfikar Z, menyoroti dugaan pengabaian putusan Mahkamah Agung RI Nomor 690 PK/Pdt/2018 oleh PT Surya Panen Subur (SPS) yang beroperasi di Desa Pulou Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Dalam putusan tersebut, PT SPS dihukum untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp136,8 miliar dan melakukan pemulihan lingkungan lahan gambut terbakar seluas 1.200 hektare dengan nilai Rp302,1 miliar.
Zulfikar mendesak Pemkab Nagan Raya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar tidak menutup mata terhadap pelaksanaan putusan ini, serta segera menempuh langkah hukum berupa eksekusi paksa atau penyitaan aset perusahaan bila PT SPS tidak patuh.
Ia juga menantang pihak perusahaan untuk membuka data pemulihan lingkungan ke publik agar transparansi terjaga dan tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat.