NEWS-BIDIK, NAGAN RAYA, ACEH Kabupaten Nagan Raya, yang dulu dikenal sebagai lumbung padi nasional di wilayah barat selatan Aceh, kini menghadapi krisis pertanian serius. Produktivitas padi terus menurun dalam beberapa musim terakhir, dipicu oleh buruknya sistem irigasi, lemahnya fungsi penyuluhan pertanian, serta minimnya koordinasi lintas instansi.
Masalah yang terjadi bersifat sistemik dan saling berkaitan, mencerminkan lemahnya tata kelola sektor pertanian di daerah ini.Selasa, (5/8/2025).
Baca Juga
Warga Difabel di Blang Bintang Terabaikan, Tiga Tahun Tak Tersentuh Bantuan Pemerintah
Sistem irigasi yang seharusnya menjadi tulang punggung produksi padi justru tidak mampu memenuhi kebutuhan pengairan. Balai Wilayah Sungai (BWS), yang berada di bawah kendali pemerintah pusat, dinilai tidak konsisten dalam mengatur distribusi air. Penutupan saluran irigasi tanpa pemberitahuan telah menyebabkan ribuan hektare sawah kekeringan saat musim tanam.
Ironisnya, lembaga terkait justru saling lempar tanggung jawab. Dinas teknis kabupaten, BWS pusat, dan otoritas provinsi belum menunjukkan kesatuan langkah dalam menangani krisis ini.
“Petani seperti dipermainkan. Setiap tahun kami tanam dalam kondisi tidak pasti. Air irigasi bisa datang, bisa juga tidak. Tidak ada jaminan,” keluh seorang petani di Kecamatan Kuala.
Kondisi petani makin diperparah dengan distribusi benih yang tidak merata dan tidak seragam. Hal ini menyebabkan hasil panen tidak konsisten bahkan dalam satu kawasan. Pemerintah daerah dinilai belum optimal dalam mendistribusikan varietas unggul secara adil.
Fungsi penyuluh pertanian, yang seharusnya menjadi pendamping teknis petani, nyaris tidak dirasakan. Banyak petani mengaku tidak lagi mendapat bimbingan, bahkan saat masa kritis penanaman dan panen.
“Kami butuh kehadiran negara di sawah, bukan hanya di rapat koordinasi,” sindir seorang tokoh tani lokal.
Berdasarkan data BPS, pada 2023 luas panen padi di Aceh mencapai 254.290 hektare dengan produksi sekitar 1,4 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kontribusi Nagan Raya hanya sekitar 7.000 hektare lahan sawah aktif, yang terus menyusut akibat ketergantungan pada hujan dan rusaknya irigasi.
Produktivitas rata-rata di kabupaten ini berkisar antara 6,2 hingga 6,5 ton per hektare—jauh di bawah rata-rata provinsi tetangga yang mampu mencapai 8 hingga 9 ton per hektare.
Krisis yang dihadapi bukan sekadar persoalan teknis, namun cerminan lemahnya koordinasi kelembagaan dan tidak efektifnya tata kelola pertanian. Reformasi menyeluruh diperlukan, mulai dari pengelolaan irigasi, pendistribusian benih unggul, hingga penguatan peran penyuluh lapangan.
Narasi ketahanan pangan nasional yang terus digaungkan tidak sejalan dengan kondisi nyata di lapangan. Petani Nagan Raya justru masih berkutat dengan krisis dasar yang tak kunjung selesai.
Baca Juga
Presiden Prabowo Terima Kunjungan Jenderal AS di Istana, Bahas Penguatan Kerja Sama Pertahanan
Jika tak ada langkah konkret, Nagan Raya bukan hanya akan kehilangan produktivitas, tapi juga identitasnya sebagai lumbung pangan. Wilayah ini bisa terjebak menjadi kawasan marginal yang bergantung pada bantuan luar.
Pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk bertindak tegas, melepaskan diri dari belenggu regulasi dan birokrasi yang menghambat. Diperlukan keberanian politik, sinergi kelembagaan, dan aksi nyata—bukan sekadar rapat dan janji.
Sebab sejatinya, ketahanan pangan lahir bukan dari pidato, tetapi dari sawah yang dialiri air, benih yang unggul, dan petani yang dihargai.






















