NEWS BIDIK, JEPARA – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya menjadi solusi pemerintah untuk mempercepat legalitas tanah warga, justru diduga disalahgunakan oleh oknum perangkat desa di Desa Pelang, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
baca juga
Alih-alih menjalankan program sesuai prosedur dan semangat pelayanan publik, program PTSL di desa tersebut diduga dijadikan lahan basah oleh oknum aparat desa. Salah satu yang menjadi sorotan adalah penunjukan istri Sekretaris Desa (Sekdes) sebagai Ketua Panitia PTSL tingkat desa.
baca juga
Siswa MTs Darul Huda Jepara Dianiaya Teman Sekelas, Keluarga Ancam Tempuh Jalur Hukum
Pada Selasa (19/8/2025), terungkap bahwa masyarakat dikenai biaya sebesar Rp350.000 per bidang tanah. Padahal, merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, batas maksimal biaya untuk wilayah Jawa dan Bali adalah Rp150.000, dan itupun harus berdasarkan kesepakatan serta tanpa paksaan dari pihak manapun.
Dari data yang dihimpun, jumlah peserta PTSL di Desa Pelang mencapai sekitar 700 orang. Dengan tarif Rp350.000 per bidang, maka total dana yang terkumpul mencapai Rp245.000.000.
Namun, rincian penggunaan dana tersebut pun menuai tanda tanya besar. Berikut alokasi yang disebut-sebut menjadi bagian dari pembiayaan:
Rp40.000 untuk 4 patok
Rp30.000 untuk materai
Rp100.000 untuk konsumsi perangkat saat pengukuran
Rp100.000 untuk pihak ketiga
Rp80.000 dibagi antara petinggi dan carik
Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan serta pelaksanaan anggaran ini pun menimbulkan kecurigaan kuat adanya praktik pungutan liar (pungli).
Panitia Tak Sesuai Aturan, Warga Pasrah
Sesuai ketentuan, pembentukan panitia PTSL tingkat desa harus dilakukan melalui Musyawarah Desa (Musdes) dan disepakati bersama masyarakat penerima manfaat. Panitia tersebut tidak boleh berasal dari unsur pemerintah desa secara langsung seperti kepala desa, sekdes, atau perangkat lainnya. Idealnya, panitia dibentuk dari unsur masyarakat melalui kelompok masyarakat (pokmas) secara independen dan demokratis.
baca juga
Diduga Tutup Informasi, Pemdes Jambu Timur Jepara Langgar UU KIP soal Proyek Pelebaran Jalan
Namun kenyataannya, di Desa Pelang, panitia justru dikendalikan oleh istri Sekdes. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip transparansi, tetapi juga menyalahi prosedur formal pelaksanaan program PTSL.
“Panitia seharusnya dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. Kalau perangkat desa atau keluarga mereka yang pegang, jelas rawan penyimpangan,” ujar Ujatko, aktivis dari Lembaga Pengawasan Kebijakan (LPK), yang mengecam keras praktik tersebut.
LPK Siap Laporkan Dugaan Pelanggaran
Ujatko menegaskan, LPK sebagai lembaga yang pro terhadap program pemerintah, juga memiliki kewajiban untuk mengawasi dan mengkritisi setiap penyimpangan.
“Kalau terbukti ada pelanggaran hukum, apalagi dugaan pungli seperti ini, kami tidak akan segan-segan membuat laporan ke aparat penegak hukum. Ini uang rakyat, bukan untuk dipermainkan,” tandasnya.
Salah satu warga yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku hanya bisa pasrah.
“Ya kami cuma ikut saja, meskipun tarifnya jelas-jelas lebih tinggi dari aturan. Karena kami butuh sertifikat. Kalau pakai jalur biasa malah lebih mahal,” ujarnya.
Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa program pemerintah yang seharusnya mempermudah rakyat justru bisa menjadi celah korupsi di level bawah, jika tidak ada pengawasan ketat dari masyarakat dan aparat penegak hukum.