NEWS BIDIK, Jepara , Warga Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, digegerkan oleh kasus kematian seorang wanita berinisial Q, seorang janda asal Desa Kerso. Q ditemukan meninggal dunia di rumah seorang pengusaha berinisial J, warga Desa Ngasem, yang sebelumnya menyewakan sepeda motor kepada korban.
Kasus ini menjadi sorotan karena sebelum meninggal, Q diduga mengalami penyanderaan dan perlakuan yang menekan secara psikologis akibat masalah sewa motor.
Awal Mula Persoalan
Informasi yang dihimpun dari warga Desa Kerso menyebutkan, Q menyewa sepeda motor milik J dengan biaya Rp50.000 per hari. Namun, selama sekitar empat bulan, Q tidak melakukan pembayaran, sehingga nilai tunggakan mencapai kurang lebih Rp6.000.000. Q juga diduga menggadaikan motor tersebut kepada pihak lain sebesar Rp2.000.000.
Dengan demikian, total kerugian yang ditanggung J diperkirakan sekitar Rp8.000.000.
Seorang warga yang enggan disebut namanya mengungkapkan bahwa J memerintahkan anak buahnya — pria bertato berinisial X — untuk menagih dan membawa Q ke rumah J. Upaya membawa Q ini disebutkan telah terjadi dua kali; yang pertama gagal karena dihalangi warga, namun upaya kedua berhasil dan Q akhirnya dibawa ke kediaman J.
Bekerja sebagai Jaminan, Diduga Dipantau Ketat
Seorang teman Q berinisial I, mengaku mendapatkan pesan dari Q selama Q berada di rumah J. Q mengeluh merasa tertekan dan diawasi dalam setiap aktivitas, bahkan saat menuju kamar mandi.
Dalam percakapan melalui pesan singkat yang ditunjukkan kepada media, Q menyebut bahwa selama berada di rumah J ia hampir dua hari tidak makan, tidak diperbolehkan mengganti pakaian, serta kesulitan menghubungi teman-temannya karena telepon genggamnya kerap diperiksa.
“Q berkali-kali meminta pertolongan melalui pesan singkat, namun komunikasinya sering terputus karena HP-nya diperiksa,” ujar I kepada wartawan.
Teman-teman Q lainnya memberikan kesaksian serupa: Q ketakutan dan mengalami tekanan psikologis saat berada di rumah J.
Aktivis Sosial Minta Penegak Hukum Bertindak
Seorang aktivis sosial yang juga turut mengawal kasus ini menyayangkan dugaan praktik penyanderaan tersebut.
“Ini tidak boleh terjadi. Kami akan mendampingi pihak keluarga dan meminta penegak hukum mengusut kasus ini hingga tuntas,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sesuai informasi warga, J diduga pernah tersangkut kasus serupa dan dinyatakan bersalah di pengadilan dengan vonis hukuman sekitar tiga tahun penjara.
Visum Dilakukan di Rumah, Timbulkan Pertanyaan
Menurut laporan Polsek Batealit, J melaporkan bahwa Q meninggal di rumahnya dan mengaku bahwa Q adalah asisten rumah tangga. Atas laporan itu, pihak kepolisian meminta tenaga medis untuk melakukan visum di lokasi kejadian, bukan di fasilitas kesehatan.
Hasil visum menyebutkan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik yang menyebabkan kematian. Namun, terdapat lebam pada wajah korban.
Hal ini memunculkan pertanyaan dari sejumlah pihak:
Apakah visum di rumah pribadi sesuai standar SOP kesehatan?
Mengapa bukan dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap?
Apakah lebam di wajah korban telah ditelusuri lebih lanjut?
Pernyataan Polisi
Kanit Reskrim Polsek Batealit, Agus, yang menangani laporan tersebut menyatakan bahwa pihak keluarga telah menerima kematian Q dan jenazah sudah dipulangkan ke rumah duka.
Namun pernyataan tersebut memicu reaksi beragam dari publik. Sejumlah pihak menilai kasus ini perlu penyelidikan lebih dalam untuk memastikan penyebab kematian Q.
Desakan Proses Hukum
Masyarakat dan aktivis sosial meminta Polres Jepara mengambil alih penyelidikan dan melakukan autopsi atau visum lanjutan, mengingat terdapat indikasi adanya tekanan dan dugaan penyanderaan.
“Kasus ini tidak boleh berhenti hanya dengan visum di lokasi,” ujar salah satu warga.
Masyarakat berharap penegak hukum memproses kasus ini secara profesional dan transparan, demi memastikan penyebab kematian Q dan memberikan kepastian hukum bagi pihak keluarga.





















