Scroll untuk baca berita
NasionalSeni & BudayaSurakarta

Sebilah Keris Lurus Berdhapur Singa Sinebaning Dilah, Tangguh Pakubuwana VIII, Menghamparkan Makna Kepemimpinan Yang Tidak Hanya Bersandar Pada Kuasa, Namun Juga Pada Laku Batin dan Keteguhan Jiwa.

4951
×

Sebilah Keris Lurus Berdhapur Singa Sinebaning Dilah, Tangguh Pakubuwana VIII, Menghamparkan Makna Kepemimpinan Yang Tidak Hanya Bersandar Pada Kuasa, Namun Juga Pada Laku Batin dan Keteguhan Jiwa.

Sebarkan artikel ini

NEWSBIDIK,//Surakarta -Pada bilahnya, tergurat pamor Udan Mas Tiban, pusaran energi alam yang hadir bukan karena kesengajaan sang empu, melainkan tiban.. artinya lahir secara alami sebagai titisan berkah campur tangan dari langit.

Singa dalam keris ini bukan sekadar ornamen.

Ia menjaga dalam diamnya, menghadap dalam sikap sineba, hadir, waspada, dan siap mengabdi…

Inilah singa penjaga kesadaran.

Ia tidak mengaum untuk menaklukkan, melainkan bersila dalam wibawa untuk mengawal.

Dalam simbol ini, keris menyuarakan bahwa pemimpin sejati bukan yang ditakuti, tapi yang menjaga kibajaksanaan nurani..

Keris ini berdhapur lurus, seperti jalannya para ksatria yang telah memilih untuk menepi dari gemerlap duniawi, meniti jalan sepi namun penuh dengan arti…

Dan di dalamnya mengalir pamor Udan Mas Tiban, hujan emas yang jatuh begitu saja, anugerah, bukan hasil upaya.

Ia menyimbolkan berkah yang datang kepada mereka yang tulus dan tidak meminta.

Dibabar pada masa Pakubuwana VIII, ketika kraton sedang menyulam ulang identitasnya di tengah gelombang zaman, keris ini barangkali bukan dibuat untuk medan perang, tetapi untuk perenungan, penjagaan batin, dan symbol kepemimpinan.

Lebih dari itu, keris dhapur Singa Sinebaning Dilah tergolong langka.

Tak banyak empu yang memilih membuat dhapur ini. Rumitnya pakem, kedalaman makna, serta segmentasi pemilik yang terbatas pada tokoh spiritual atau pemimpin batin, membuatnya menjadi pusaka yang tidak umum.

Keberadaannya di tangan siapa pun adalah sebuah pertanda bahwa keris ini tidak memilih sembarang tuan.

Pusaka ini memakai sandangan yang cukup sederhana, gayaman surakarta yang digarap dengan penuh ketelitian dan keluwesan seni tanpa meninggalkan pakemnya.

Meski sederhana busana ini tersimpan nilai yang cukup istimewa, yaitu bahan kayunya yang terbuat dari kayu cendana wangi.

Salah satu bahan warangka yang memiliki strata cukup tinggi dengan aroma khasnya yang sakral dan menenangkan.

Warangka ini dilengkapi dengan pendok blewah surakarta dari bahan kuningan polosan yang cukup tebal.

Secara keseluruhan ia nampak prasaja, mriyayeni dan pastinya ndudut ati…

Pusaka lurus

Dhapur Singa Sinebaning Dilah

Pamor Udan Mas Tiban

Tangguh Pakubuwana VIII

Ganan singa yang tampak gagah terpahat anggun di gandiknya, menjadi pusat perhatian sejak pandangan pertama.

Relief singa ini diukir dengan sangat detail, mencerminkan kepiawaian seorang empu dalem keraton yang telah mencapai puncak ketajaman rasa dan teknik garap yang mumpuni.

Setiap ricikan masih terjaga utuh, menegaskan bahwa bilah ini bukan sekadar pusaka tua, melainkan warisan adi luhung yang dirawat dengan penuh takzim.

Lapisan satonnya memperlihatkan tempaan yang matang, sementara pamor yang tergurat nampak sangat pandes, menandakan tempaannya dikerjakan dengan tingkat presisi dan spiritualitas yang begitu tinggi.

Motif pamor berbentuk bulatan-bulatan kecil tersebar hampir merata di seluruh bilah, menghadirkan kesan yang halus namun penuh wibawa.

Pamor ini tidak hanya indah secara visual, tetapi juga memancarkan aura anggun, tenang, dan dalam bahasa batin disebut merbawani, memiliki daya pikat yang tak kasat mata.

Pusaka ini tidak hanya gagah dan wingit, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang menatap dan mendekapnya.

Ia seakan menyimpan kisah, memeluk rahasia, dan memilih hadir hanya kepada mereka yang benar-benar siap menerima dengan sepenuh hati.

Singa Sinebaning Dilah….

Salah satu dhapur keris yang tergolong sangat langka, khususnya untuk kategori keris sepuh.

Keistimewaannya tidak hanya terletak pada bentuknya yang unik, tetapi juga pada kedalaman makna yang terkandung di dalamnya.

Secara struktur, dhapur ini memiliki ciri khas yang menonjol pada bagian sogokan.

Berbeda dari sogokan keris pada umumnya, sogokan sineba tampak jauh lebih panjang, bahkan bisa mencapai satu setengah hingga dua kali lipat dari ukuran sogokan biasa.

Sogokan bagian depan cenderung lurus, sedangkan bagian belakang memiliki bentuk khas yang tidak dijumpai pada dhapur lain. Karakteristik ini sangat khas, seperti yang terlihat pada pusaka ini.

Menurut Mpu Basuki Teguh Yuwono dan Empu Totok Brojodiningrat dalam buku Keris Singa tahun(2023)..

keris dhapur Singa Sinebaning Dilah merupakan jenis pusaka yang secara khusus diberikan kepada para pemimpin prajurit senior yang sedang menapaki jalan spiritual.

Singa dalam keris ini bukan sekadar hiasan, tetapi simbol penjagaan, wibawa, dan kepemimpinan batin, bukan kekuasaan yang menguasai, melainkan kuasa yang menjaga.

Secara etimologi “Singa” merujuk pada ornamen atau bentuk singa yang biasanya dipahat pada bagian gandik bilah keris.

Sedangkan “Sinebaning dilah” secara harfiah berarti yang menjaga atau menutup bagian bilah.

Kata “sinebaning” berasal dari akar kata “seba” atau “sineba”, yang dalam tradisi Jawa berarti menghadap, sowan, atau datang dengan niat penghormatan.

Dalam konteks keris, kata ini mengisyaratkan peran sang singa sebagai penjaga sakral yang hadir dan mengawal perjalanan batin pemiliknya.

Makna kata “sineba” sendiri menyimpan makna tersendiri. Dalam budaya Jawa, “sineba” adalah laku untuk menghadap seseorang yang lebih tinggi derajatnya — bisa seorang raja, guru, orang tua, atau tokoh spiritual.

Ia bukan sekadar tindakan fisik, melainkan juga simbol kerendahan hati dan kesiapan batin untuk menerima wejangan.

Riwayat sogokan sineba sendiri diyakini mulai muncul pada masa Mataram, terutama sejak era Amangkurat yang telah mangkat di Tegal Arum.

Namun bentuk dan pakemnya menjadi lebih populer dan mapan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana di Keraton Surakarta.

Di sinilah bentuk sinebaning dilah menemukan pakemnya, diserap oleh para empu keraton yang mengolahnya menjadi dhapur yang sarat makna dan penuh dengan kehormatan.

Termasuk pusaka ini, ia lahir dari masa kepemimpinan Pakubuwana VIII… sebuah masa di mana Keraton Surakarta menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk meneguhkan identitas dan keberlanjutan budaya Jawa dalam pusaran dinamika politik dan sosial di akhir abad ke-19.

Pakubuwana VIII memerintah di tengah tekanan kolonial yang semakin kuat dari Belanda, di saat tradisi keraton berusaha menjaga keseimbangan antara mempertahankan kedaulatan budaya dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Di bawah kepemimpinannya, Keraton Surakarta berupaya menyelaraskan antara nilai-nilai leluhur dengan tuntutan baru, termasuk dalam hal seni dan spiritualitas.

Kerajaan bukan hanya tentang kekuasaan politik semata, tetapi juga sebagai pusat pengembangan budaya dan spiritual yang mendalam.

Dalam konteks ini, keris seperti Singa Sinebaning Dilah bukan sekadar senjata, melainkan simbol tanggung jawab moral dan spiritual seorang pemimpin.

Ia melambangkan keteguhan hati yang lurus dan waspada, sekaligus penjagaan terhadap nilai-nilai luhur yang tak ternilai harganya.

Pakubuwana VIII sendiri dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan sangat peduli terhadap kelangsungan tradisi keraton.

Kepemimpinannya memberi ruang bagi para empu keraton untuk terus berkarya, menciptakan pusaka-pusaka bermakna yang bukan hanya indah secara fisik, tetapi sarat dengan filosofi mendalam.

Dalam suasana seperti itulah, keris dhapur Singa Sinebaning Dilah ini hadir, mengandung pesan yang jelas:

bahwa kepemimpinan sejati adalah perpaduan antara keteguhan lahir dan kesucian batin.

Sebuah warisan yang hingga kini tetap memancarkan aura kekuatan spiritual dan estetika tinggi, menegaskan bahwa sang pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat,

kekuasaan dan pengabdian,

serta tradisi dan perubahan.

Tinggalkan Balasan

Jakarta

“Penundaan pelimpahan berkas dan tersangka Juliet Kristianto Liu dapat menjadi awal yang baik bagi Tim Reformasi Polri untuk membenahi institusi Polri. Ini kasus nyata dan sedang terjadi di depan mata publik, jadi semestinya Tim bentukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo segera masuk membenahi Polri melalui kasus tersebut.” — Wilson Lalengke, Alumni Lemhannas RI.

Nasional

“Tanah adat tidak boleh dipermainkan oleh mafia tanah, pejabat, maupun pihak yang bersembunyi di balik dokumen administratif. Apa yang dilakukan Willem RN Buratehi Bewela adalah bentuk perlawanan terhadap praktik manipulasi tanah adat yang merugikan masyarakat Papua,” tegas Wilson Lalengke, alumni Lemhannas RI, menanggapi pencabutan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Marga Bewela di Sorong.