Scroll untuk baca berita
AcehDaerah

Izin Belum Sah, Lingkungan Rusak WANGSA Bongkar Skandal PT MGK

233
×

Izin Belum Sah, Lingkungan Rusak WANGSA Bongkar Skandal PT MGK

Sebarkan artikel ini

NEWS-BIDIK,//Meulaboh – Sekretaris Jenderal WANGSA, Zikri Marpandi, mempertanyakan respons defensif sejumlah pihak atas pernyataan WANGSA yang mengungkap status hukum PT Magellanic Garuda Kencana (MGK).

Menurut WANGSA, PT MGK belum memiliki legalitas yang tuntas. “Kami sudah memverifikasi informasi ini langsung ke ESDM Aceh dan DLH Aceh Barat sebelum dipublikasikan. Anehnya, setelah berita muncul, justru muncul bantahan tanpa data konkret,” kata Zikri, Jumat (13/6/2025).

WANGSA kembali menghubungi ESDM Aceh secara pribadi untuk memastikan tidak ada miskomunikasi. Kabid Minerba ESDM Aceh, Khairil Basyar, mengakui bahwa dari 9 IUP yang dicabut oleh BKPM, hanya PT MGK yang belum melakukan klarifikasi, sehingga IUP-nya belum dipulihkan dan tidak terdaftar di sistem MODI.

“Belum dipulihkan oleh BKPM, karena dari sembilan IUP yang dicabut oleh BKPM di Aceh—termasuk PT Nilmala Coal Nusantara di Aceh Barat—delapan di antaranya telah dipulihkan. Delapan perusahaan tersebut datang langsung ke BKPM untuk melakukan klarifikasi terkait kewenangan Aceh dan mempertanyakan alasan pencabutan izin mereka. Dalam proses klarifikasi itu, masing-masing perusahaan menandatangani Pakta Integritas bersama pihak BKPM. Sementara PT MGK belum melakukan hal yang sama, sehingga hingga kini IUP-nya belum dipulihkan dan tidak terdaftar dalam sistem MODI (Minerba One Data Indonesia).” Sebut Khairil Basyar via WhatsApp

“Artinya, secara administrasi, statusnya abu-abu. Jika sudah melakukan penambangan, maka secara hukum itu bisa disebut ilegal,” ujar Zikri.

WANGSA menegaskan, ini bukan soal menyerang, tapi soal transparansi. Bila status legal belum jelas, publik berhak tahu. “Dan jika suara kritis justru dibantah dengan narasi, bukan data, maka pertanyaannya: mengapa mereka takut pada WANGSA?”

Jangan Sederhanakan Persoalan PT MGK Hanya Sebagai Isu Administrasi

WANGSA menegaskan bahwa persoalan PT Magellanic Garuda Kencana (MGK) jauh melampaui sekadar polemik legalitas administratif. Sekretaris Jenderal WANGSA, Zikri Marpandi, menyebut bahwa upaya pembingkaian isu ini hanya sebagai kesalahan administrasi adalah bentuk pengaburan persoalan struktural yang lebih serius.

“Kalau hanya legalitas administratif, mungkin masih bisa ditoleransi, apalagi jika diklaim demi investasi. Tapi masalahnya bukan itu. Jangan bingkai persoalan ini seolah-olah WANGSA bicara soal kelengkapan dokumen semata. Kami tidak sesederhana itu,” ujar Zikri dalam keterangan resminya, Kamis (13/6/2025).

Zikri mengungkapkan bahwa dasar urgensi WANGSA bermula dari Surat Peringatan Terakhir yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh dengan Nomor 540/DPMPTSP/290/2023 tertanggal 31 Januari 2023. Surat tersebut mendesak PT MGK untuk segera memenuhi seluruh kewajiban operasional dan perizinan. Apabila tidak, IUP mereka akan dicabut secara permanen.

Sudah 1 tahun 4 bulan 13 hari sejak surat itu dikeluarkan, namun PT MGK masih beroperasi. “Ini bukan lagi soal potensi pelanggaran, tapi soal pembiaran,” tegas Zikri.

Masalah semakin kompleks ketika ditemukan fakta bahwa tenaga kerja asing (Calon Tenaga Kerja secara Keimigrasian) yang diduga berasal dari Vietnam telah bekerja di area kapal penggeruk emas. Sementara di sisi lain, kerusakan lingkungan di wilayah konsesi PT MGK terus memburuk tanpa kontribusi apa pun terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Barat. “Kalau tidak ada manfaat ekonomi untuk daerah, di mana letak narasi investasi itu?” tanya Zikri retoris.

Puncaknya, pada 15 Agustus 2023, Dinas ESDM Aceh merilis data resmi tentang tiga titik tambang ilegal, yang seluruhnya berada di dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT MGK. Data ini tersedia di laman resmi ESDM Aceh.

Respons dari pihak perusahaan hanya menyebut bahwa mereka “tidak tahu” atau menyalahkan pihak luar atas kerusakan tersebut. Namun berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 dan Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, pemegang IUP tetap berkewajiban melakukan reklamasi dan pemulihan lingkungan di seluruh wilayah konsesi—tanpa terkecuali dan tanpa alasan.

“Lebih ironis lagi, kerusakan lingkungan yang terjadi sudah berlangsung lama dan bahkan sempat menarik perhatian nasional. Tapi Jaminan Reklamasi baru disetor pada 2024, dan RKAB baru disetujui bulan lalu. Artinya, PT MGK sudah beroperasi sebelum izin operasionalnya lengkap,” ujar Zikri.

Selain itu, PT MGK belum menandatangani Pakta Integritas di hadapan BKPM—syarat utama untuk pemulihan IUP yang sempat dicabut. Akibatnya, PT MGK tidak terdaftar dalam sistem MODI, sehingga secara administratif tidak memiliki legitimasi sebagai perusahaan tambang aktif.

“Jika mengacu pada hukum, data resmi, dan peringatan dari pemerintah sendiri, maka tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan keberadaan perusahaan ini. IUP PT MGK sudah sangat layak untuk dicabut secara permanen,” tutup Zikri.

Data Resmi DLH Ungkap Kegagalan PT MGK Penuhi Kewajiban Lingkungan

Berdasarkan dokumen resmi berupa Berita Acara Pengawasan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Barat yang dilaksanakan pada 22 Mei 2025, PT MGK dinilai abai terhadap sejumlah kewajiban dasar dalam pengelolaan dampak lingkungan.

Berita acara tersebut ditandatangani oleh Kepala DLH Aceh Barat Bukhari, Kepala Bidang Pengendalian dan Tata Lingkungan Dede Redharoylita, serta tiga perwakilan lainnya dari instansi pemerintah dan pihak perusahaan, termasuk Kepala Pengawas PT MGK dan Admin Eksekutif perusahaan.

Temuan utama dalam berita acara tersebut meliputi:

1. PT MGK belum menyampaikan laporan pelaksanaan RKL-RPL (Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) secara rutin setiap enam bulan, sebagaimana diamanatkan regulasi.

2. Pemantauan DLH Aceh Barat, PT MGK tidak terdapat kolam pengendapan, dan belum ada pembangunan kolam tersebut hingga saat ini.

3. Belum dilakukan proses revegetasi di lahan pascatambang karena masih digunakan untuk kegiatan penambangan aktif.

4. Perizinan pembuangan dan pemanfaatan limbah belum dimiliki, baik oleh DLH Kabupaten maupun instansi provinsi.

5. Pengelolaan air limbah belum mendapatkan persetujuan teknis, dan belum dilakukan pemantauan kualitas air secara rutin.

6. PT MGK tidak memiliki persetujuan teknis atas baku mutu air limbah serta belum melaporkan hasil pemantauan air ke DLH Aceh Barat, DLHK Aceh, maupun KLHK RI.

Menurut Zikri Marpandi, Sekjen WANGSA, fakta ini membuktikan bahwa bantahan yang dialamatkan kepada WANGSA selama ini tidak berdasar. “Data ini ditandatangani langsung oleh pihak perusahaan. Maka segala tuduhan bahwa WANGSA menyebarkan informasi tidak akurat, bisa dikatakan sebagai bentuk penyesatan publik,” ujarnya.

Zikri menambahkan, lemahnya komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan adalah masalah serius yang berdampak langsung terhadap ekosistem dan keselamatan masyarakat. “Bukan hanya dokumen yang bermasalah, tapi juga implementasi di lapangan. Ini bukan lagi soal kelemahan administratif, ini soal pembiaran sistematis,” tegasnya.

WANGSA menilai bahwa temuan ini harus menjadi peringatan keras bagi semua pihak yang selama ini membungkam kritik atas nama investasi. “Kami tidak sedang mencari panggung, kami hanya menjaga agar bumi kami tidak digali tanpa tanggung jawab,” tutup Zikri.

Zikri Marpandi juga menegaskan bahwa WANGSA telah sah secara hukum sebagai yayasan terdaftar di Kemenkumham. Meski belum tercatat di Kesbangpol, hal itu tidak membatalkan legalitasnya.

Tinggalkan Balasan

Aceh

Petani menjadi tersangka, sementara perusahaan perkebunan diduga kebal hukum. Manipulasi HGU yang melibatkan oknum BPN/ATR harus diusut tuntas demi keadilan masyarakat Padang Panyang.”

“Sudah puluhan tahun perusahaan berkuasa, tetapi hak rakyat tak pernah benar-benar merdeka. Presiden Prabowo diharapkan turun tangan menegakkan keadilan agraria di Nagan Raya.”

“Program plasma 20 persen hanya tinggal formalitas. Sampai hari ini tidak satu pun petani menikmati hasilnya.”

“Kami meminta APH tidak menutup mata. Mafia tanah harus dihentikan, bukan rakyat yang dijadikan tumb

Aceh

Diduga proyek pembangunan TKN 15 Samatiga Aceh Barat tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Minimnya pengawasan dari pihak terkait serta sulitnya akses informasi ke publik semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam proyek bernilai miliaran rupiah ini. Aparat Penegak Hukum (APH) diminta turun tangan mengusut tuntas agar pembangunan fasilitas pendidikan tidak dikorbankan demi kepentingan tertentu.”

Aceh

Ketua Wilter LSM GMBI Aceh, Zulfikar Z, menyoroti dugaan pengabaian putusan Mahkamah Agung RI Nomor 690 PK/Pdt/2018 oleh PT Surya Panen Subur (SPS) yang beroperasi di Desa Pulou Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Dalam putusan tersebut, PT SPS dihukum untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp136,8 miliar dan melakukan pemulihan lingkungan lahan gambut terbakar seluas 1.200 hektare dengan nilai Rp302,1 miliar.
Zulfikar mendesak Pemkab Nagan Raya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar tidak menutup mata terhadap pelaksanaan putusan ini, serta segera menempuh langkah hukum berupa eksekusi paksa atau penyitaan aset perusahaan bila PT SPS tidak patuh.
Ia juga menantang pihak perusahaan untuk membuka data pemulihan lingkungan ke publik agar transparansi terjaga dan tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat.