Oleh: Browibowo
NEWS-BIDIK,//Nganjuk,— Dalam semilir udara sejuk dan gemuruh air jatuh di Air Terjun Sedudo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, tersimpan lebih dari sekadar keindahan alam. Di balik kejernihan air dan keramahan para pedagang, sebuah pertemuan tak terduga menghadirkan kisah hidup yang menyentuh hati dan memberi makna baru tentang arti perjuangan dan keikhlasan.
Hari ini, Jumat Legi, (13/6/2025) saya mengikuti petunjuk alam menuju air terjun Sedudo. Setelah mandi dan menikmati hangatnya wedang jahe dari pedagang setempat, pandangan saya tertuju ke arah anak tangga menurun di sisi kiri. Seorang kakek—dengan langkah tegap dan cepat—turun dari tangga, lalu menghampiri saya. Usianya 85 tahun, namun semangat dan energinya menyentak kesadaran saya.
Beliau memperkenalkan diri sebagai Mbah Samidi, petani asli dari Dusun Jajar, Desa Margopatut, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk. Dari perbincangan hangat kami di tepi air terjun hingga akhirnya saya diundang ke kediamannya, kisah hidup Mbah Samidi mengalir penuh keteladanan.
Tak Sekolah Tinggi, Tapi Sukses Antar Anak Menjadi Abdi Negara
Mbah Samidi bukan siapa-siapa di mata dunia akademik. Pendidikan formalnya hanya sampai Sekolah Rakyat (SR). Namun, dari ladang-ladang yang ia garap dengan tangan kasar dan keringat penuh doa, tumbuh anak-anak yang kini berdiri tegak sebagai penjaga negeri: satu menjadi Kapten kapal CARGO lintas negara, satu lagi Perwira Polisi, dan yang ketiga seorang Bintara TNI AD.
Kisah ini bukan tentang keberuntungan semata, tapi tentang kekuatan doa dan kerja keras seorang ayah. Mbah Samidi tidak sekadar mencangkul tanah, tapi juga menanamkan nilai hidup, membangun karakter anak-anaknya dari fondasi keikhlasan, keteguhan, dan rasa syukur.
Hidup Tanpa Pensiun, Hidup untuk Memberi
Bagi Mbah Samidi, pensiun bukanlah tujuan. “Selama masih bisa jalan dan bekerja, saya akan terus bergerak,” tuturnya. Ia menggantungkan harapannya pada Tuhan, dan bukan pada materi dunia. Dalam kesederhanaannya, ia tetap dermawan. Hasil panennya tak hanya untuk diri dan keluarga. Ia membagikan beras, sayur, dan hasil kebun kepada tetangga tanpa memandang siapa mereka.
Dari Sawah ke Istana Hati Anak Bangsa
Di zaman serba instan dan pragmatis ini, kisah Mbah Samidi menjadi oase. Ia membuktikan bahwa keberhasilan tidak selalu lahir dari kursi kelas atau kota besar. Kadang, pemimpin masa depan tumbuh dari desa sunyi yang sarat nilai dan doa.
Air terjun Sedudo hari itu bukan hanya menyegarkan tubuh, tapi juga menyentuh jiwa. Pertemuan dengan Mbah Samidi menjadi pelajaran nyata: bahwa dari tanah yang sederhana, seorang ayah bisa membajak masa depan anak-anaknya hingga menembus batas takdir.
Kisah ini bukan hanya catatan pertemuan, tapi sebuah inspirasi hidup. Bahwa setiap orang bisa menjadi cahaya bagi keluarganya—asal mau berjuang, berdoa, dan hidup dengan hati.