NEWS BIDIK, SAMPIT — Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tapian Nadenggan, yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group, tengah menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri Sampit. Gugatan tersebut diajukan oleh Musi dan kawan-kawan, yang mengklaim sebagai pemilik Tanah Adat Dayak di wilayah Hulu Sungai Paken.
Menurut Sapriyadi, S.H., selaku kuasa hukum para penggugat, konflik ini telah berlangsung cukup lama. Perusahaan disebut mulai menggarap lahan adat tersebut sekitar tahun 2005–2006. Tanah yang disengketakan terdiri dari sembilan bidang yang sebelumnya masuk wilayah Desa Sebabi, namun kini termasuk dalam wilayah Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur.
“Lahan tersebut diperoleh berdasarkan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, serta diperkuat dengan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah,” ujar Sapriyadi.
Atas dugaan penggusuran dan penghilangan tanam tumbuh di atas tanah adat itu, pihak penggugat menuntut ganti rugi moril dan materil senilai Rp5 triliun lima miliar rupiah. “Kami menuntut keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini dirugikan,” tegas Sapriyadi.
Ia juga menyayangkan ketidakhadiran pihak perusahaan pada sidang perdana. “Kami berharap PT Tapian Nadenggan bersikap kooperatif dan hadir membuktikan haknya di pengadilan. Jangan sampai ada upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan haknya,” tambahnya.
Lebih lanjut, kuasa hukum Musi dkk menegaskan bahwa lahan seluas 179 hektar yang menjadi objek sengketa

tidak termasuk dalam wilayah HGU maupun IUP PT Tapian Nadenggan. Hal ini, menurutnya, merupakan perbuatan melawan hukum yang bukan hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga negara.
“Atas dasar itu, kami telah melayangkan laporan resmi kepada pejabat dan aparat penegak hukum agar persoalan ini mendapat perhatian serius,” tutup Sapriyadi.









