NEWS-BIDIK, Aceh telah diberikan kewenangan pertanahan dalam UUPA dan peraturan turunannya, tapi nyaris tidak ada political will untuk mengambil alih. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal keberanian politik untuk berdiri di atas kaki sendiri,” tegas Dedi Syahputra, S.H., pengamat agraria dan pemerhati hukum pertanahan di Aceh.
Aceh secara hukum memiliki keistimewaan dan kekhususan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam pasal 213 sampai 214 ditegaskan bahwa kewenangan pertanahan berada pada Pemerintah Aceh, termasuk pengelolaan, perizinan, hingga pengakuan hak atas tanah adat.
Sebagai penguat, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, yang pada Pasal 4 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa kewenangan pertanahan adalah bagian dari urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh. Rabu, (30/7/2025).
Selain itu, terdapat PP No. 60 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalihan Kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh, yang membuka jalan teknis agar kewenangan pertanahan.termasuk administrasi tanah, pendaftaran, dan penertiban HGU.secara bertahap dialihkan kepada Pemerintah Aceh.
Namun kenyataannya, meski regulasi sudah disiapkan, implementasinya jalan di tempat. Pengurusan sertifikat tanah, HGU, redistribusi tanah, dan pendaftaran tanah adat masih didominasi oleh Kantor Wilayah BPN pusat. Bahkan konflik-konflik agraria yang seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme kekhususan, tetap bergantung pada sistem nasional yang terbukti lamban dan tidak berpihak.
Aceh Bisa Menjadi Teladan Nasional, Tapi Gagal Bertindak Jika saja Pemerintah Aceh serius, maka.Evaluasi atas seluruh HGU yang telah berlangsung puluhan tahun bisa dilakukan dengan instrumen daerah,
Peraturan Gubernur atau Qanun Agraria berbasis adat dan keadilan lokal bisa ditegakkan,
Lahan-lahan kosong dalam wilayah HGU yang tak produktif bisa didistribusikan kembali kepada rakyat, terutama untuk ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Namun hingga kini, tanah di Aceh masih jadi ladang konflik, bukan ladang produksi. Perusahaan-perusahaan besar menguasai puluhan ribu hektare tanah, namun rakyat setempat tak memperoleh plasma, kompensasi, bahkan pengakuan. Di Nagan Raya, Aceh Timur, Aceh Barat, konflik serupa berulang. Tapi pemerintah daerah memilih diam, seakan lebih takut pada birokrasi Jakarta ketimbang jeritan rakyatnya sendiri.
Kesimpulan: Regulasi Sudah Ada, Siapa yang Berani Menjalankannya?
UU No. 11 Tahun 2006 sudah memberi ruang. PP No. 3 Tahun 2015 dan PP No. 60 Tahun 2008 sudah mengatur teknisnya. Tetapi keberanian politik di Aceh seperti tak pernah benar-benar lahir. Jika Pemerintah Aceh tetap bersikap pasif, maka kekhususan hanya akan menjadi hafalan, bukan tindakan.
Dalam sistem hukum otonomi yang sudah mengakui kekhususan Aceh, ketidakmampuan menata agraria adalah bukan soal keterbatasan hukum, melainkan soal kemauan. Dan selama kemauan itu tidak hadir, rakyat Aceh akan terus menjadi tamu di tanahnya sendiri.
Aceh bisa menjadi pionir reforma agraria berbasis adat dan keadilan lokal Tapi untuk itu, harus ada satu hal yang dimiliki: keberanian untuk menggunakan kewenangan yang sah.
Ok