Scroll untuk baca berita
AcehBisnis & FinansialNAGANRAYA

Ketua Koperasi Merah Putih Desa Cot Rambong Diduga Lakukan Pungli, Warga Minta APH Turun Tangan

3955
×

Ketua Koperasi Merah Putih Desa Cot Rambong Diduga Lakukan Pungli, Warga Minta APH Turun Tangan

Sebarkan artikel ini

NEWS BIDIK, Nagan Raya — Sejumlah warga Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya, mengeluhkan dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh Ketua KopDes Koperasi Merah Putih yang baru terbentuk. Keluhan ini muncul setelah adanya pengutipan dana terhadap setiap anggota koperasi dengan nominal paling rendah Rp120.000 per orang.

Menurut keterangan warga setempat, dari jumlah tersebut sekitar Rp100.000 disebut-sebut diperuntukkan bagi kepentingan koperasi, sementara sisanya diklaim sebagai biaya jasa pengutipan oleh oknum terkait. Informasi ini disampaikan oleh narasumber masyarakat saat ditemui Tim LIPSUS ACEH pada Sabtu (22/11/2025).

Warga menyebutkan, meskipun pihak koperasi menyampaikan bahwa pada Januari 2026 akan masuk dana pinjaman sebesar Rp5 juta per anggota, namun proses pengutipan itu dinilai tidak melalui mekanisme musyawarah sebagaimana lazimnya dalam pengelolaan koperasi. Keputusan tersebut dianggap sebagai tindakan sepihak dari ketua koperasi yang dinilai berpotensi merugikan masyarakat.

Tak hanya itu, hingga kini warga mengaku belum menerima satu pun buku rekening bank yang diperlukan sebagai syarat kepesertaan koperasi. Hal ini menambah kecurigaan masyarakat terhadap transparansi serta legalitas proses yang dijalankan.

“Tindakan pengutipan yang dilakukan tanpa musyawarah dan keputusan bersama ini sangat meresahkan. Masyarakat merasa dipaksa dan tidak mendapatkan kejelasan,” ungkap salah seorang narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Ketua Koperasi Merah Putih tersebut kini menjadi sorotan publik. Warga menilai praktik ini bertentangan dengan prinsip koperasi yang seharusnya mengedepankan musyawarah, transparansi, dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Masyarakat Desa Cot Rambong pun mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan mengusut tuntas dugaan pungli yang mengatasnamakan koperasi itu. Mereka berharap tindakan tegas diberikan agar tidak ada lagi oknum yang memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi.

“Kami berharap APH segera memproses dan membuka secara terang kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk,” tambah warga.

Kasus ini masih terus berkembang dan masyarakat menunggu adanya kejelasan serta pertanggungjawaban dari pihak terkait.

Tinggalkan Balasan

Aceh

Diduga proyek pembangunan TKN 15 Samatiga Aceh Barat tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Minimnya pengawasan dari pihak terkait serta sulitnya akses informasi ke publik semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam proyek bernilai miliaran rupiah ini. Aparat Penegak Hukum (APH) diminta turun tangan mengusut tuntas agar pembangunan fasilitas pendidikan tidak dikorbankan demi kepentingan tertentu.”

Aceh

Ketua Wilter LSM GMBI Aceh, Zulfikar Z, menyoroti dugaan pengabaian putusan Mahkamah Agung RI Nomor 690 PK/Pdt/2018 oleh PT Surya Panen Subur (SPS) yang beroperasi di Desa Pulou Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Dalam putusan tersebut, PT SPS dihukum untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp136,8 miliar dan melakukan pemulihan lingkungan lahan gambut terbakar seluas 1.200 hektare dengan nilai Rp302,1 miliar.
Zulfikar mendesak Pemkab Nagan Raya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar tidak menutup mata terhadap pelaksanaan putusan ini, serta segera menempuh langkah hukum berupa eksekusi paksa atau penyitaan aset perusahaan bila PT SPS tidak patuh.
Ia juga menantang pihak perusahaan untuk membuka data pemulihan lingkungan ke publik agar transparansi terjaga dan tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat.

Aceh

Dugaan penyerobotan lahan oleh PT KIM di Nagan Raya kembali memicu kemarahan warga. Meski Rapat Dengar Pendapat telah digelar di DPRK, aksi perusakan tanaman dan pembongkaran pondok milik masyarakat terus terjadi. Warga menilai perusahaan bertindak semena-mena dan mengabaikan kewajiban HGU, sementara pemerintah daerah dan DPRK terkesan tak berdaya menghadapi pengusaha perkebunan besar.”